HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA
BAB I
PENDAHULUAN
Diskursus
tentang HAM terus berlanjut
seiring dengan perkembangannya, tidak terkecuali di Indonesia. Salah satu
instrumen hukum HAM di Indonesia adalah lahirnya Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 tentang HAM yang berisi 11 bab 106 pasal. Maka dengan lahirnya undang-undang
tersebut, HAM adalah hak-hak yang diakui secara konstitusional sehingga
pelanggaran terhadap HAM merupakan pelanggaran atas konstitusi. Untuk mendukung terwujudnya kesadaran
kolektif atas eksistensi HAM maka pemerintah menyadari bahwa kebijakannya harus
mengedepankan isu-isu HAM. Meskipun pada dasarnya HAM bukanlah berada pada
wilayah politik, namun dalam praktek bernegara, terlaksananya HAM secara baik
dan bertanggung jawab sangat tergantung kepada political will dan political
action dari penyelenggara
negara.
Dalam kehidupan bernegara dan berbangsa setiap
warga Negara memiliki hak dan kewajiaban dalam memeluk agama yang tertuang
dalam pasal 29.dalam UUD 1945 yang merupakan dasar
Negara yang diharapkan menjamin perjalanan kehidupan bangsa beserta warganya,
tentunya dalam suatu sistem ketata-negaraan mutlak hukumnya adanya suatu
perundang-undangan atau peraturan yang mana fungsi utama dari kesemuanya itu
adalah guna mengatur dan mengendalikan arah suatu sistem negara agar tidak
melenceng dari jalurnya. tentunya dalam seluruh aspek kehidupan bernegara,
berbangsa,beragama, dan bermasyarakat di satu tanah air yaitu indonesia.
suatu negara yang demokrasi dan
berlandaskan hukum ini tidak melarang adanya suatu kepercayaan yang di anut
oleh warga negaranya sendiri, dan tentunya harus dilindungi dengan suatu
perundang-undangan yang jelas, tegas yang mana menjamin keamanan dalam
menjalankan kehidupan beragama dalam suatu negara yang bersifat non
religius.dalam hal ini Negara khatulistiwa atau Indonesia ini memiliki suatu perundang-undangan
yang mengatur urusan tentang kehidupan beragama yakni terdapat pada pasal 29
ayat 1 dan 2, pembahasan pada makalah ini adalah seputar menganalisa seberapa
jauh relevansi antara ayat 1 dan 2 pada pasal 29 dalam sistem perundang-undang
NKRI ini.
Undang-undang Isi pasal 29 ayat 1 dan 2 Tentang agama yang berbunyi:
(1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu
BAB II
PERMASALAHAN
isi
Dari
bunyi pasal 29 ayat 1 telah di jelaskan bahwa ideologi awal dasar negara
indonesia ini adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Ini berarti bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang beketuhanan,dan kemerdekaan Indonesia tidak
terlepas dari kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa.Dari pasal 29 ayat 2,ini
menjelaskan bahwa setiap warga Negara memiliki hak untuk memeluk agama
masing-masing tanpa adanya paksaan dan beribadat menurut kepercayaanya
masing-masing.Oleh karna itu setiap warga Negara dapat beribadah sesuai
kepercayaan dengan tenang tanpa ada ganguan dari agama lain,oknum maupun ormas
lain sesuai dengan bunyi pasal diatas.Agar tercipta kenyamanan,kententramandan
toleransi antar umat bergama sehingga tercipta Negara yang damai.Beragama adalah menjadikan
suatu ajaran agama sebagai jalan dan pedoman hidup berdasarkan keyakinan bahwa
jalan tersebut adalah jalan yang benar. Karena bersumber dari keyakinan diri,
maka yang paling menentukan keberagamaan seseorang adalah hati nurani. Oleh
karena itu agama adalah urusan paling pribadi. Apakah seseorang meyakini dan
menjalankan ajaran suatu agama atau tidak, ditentukan oleh keyakinan dan
motivasi pribadi dan konsekuensinya pun ditanggung secara pribadi. Keberagamaan
seseorang menjadi tidak bermakna sama sekali jika dilakukan tanpa keyakinan dan
semata-mata ditentukan oleh faktor di luar diri sendiri. Islam secara tegas
dinyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Beragama dengan keterpaksaan
adalah sebuah kemunafikan.
Oleh
karena itu beragama adalah hak asasi manusia yang masuk dalam kategori hak
dasar yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Konsekuensinya, siapapun
harus menghormati, menghargai, dan tidak melanggar hak orang lain dalam
beragama. Bahkan negara tidak memiliki otoritas untuk menentukan mana agama
yang benar dan mana agama yang salah. Keyakinan saya bahwa agama Islam adalah
agama yang benar dan diridloi Allah SWT bukan karena Islam diakui sebagai agama
yang “sah” oleh negara. Sebaliknya, saya tidak memilih agama yang lain juga bukan
karena agama tersebut tidak diakui secara “sah” oleh negara. Yang menentukan
adalah keyakinan saya sendiri. Jika saya memeluk Islam sebagai agama saya dan
beribadah menurut ajaran seperti mayoritas yang dilakukan oleh umat Islam yang
lain semata-mata karena pengakuan yang diberikan oleh pemerintah, maka saya
telah menjadi munafik, dan keberagamaan saya tidak bermakna sama sekali
dihadapan Allah.
Sebaliknya, tujuan pembentukan negara
adalah untuk melindungi hak warga negara dan memenuhi kepentingan seluruh
rakyatnya. Dalam konteks ke-Indonesia-an, salah satu tujuan nasional adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia, tentu saja tanpa diskriminasi baik
berdasarkan suku, bahasa, maupun agama. Oleh karena itu, menjadi salah satu
tugas negara untuk melindungi hak kebebasan setiap orang dalam beragama dan
beribadat.
JAMINAN
DALAM UUD 1945
UUD 1945 setelah perubahan mengatur
lebih rinci masalah hak asasi manusia. Pasal 28E Ayat (1) menegaskan bahwa
setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Hak kebebasan
beragama juga dijamin dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Sepeti telah diungkapkan pada bagian awal, seseorang
memeluk agama dan beribadat tentu berdasarkan kepercayaan yang diyakininya.
Keyakinan terhadap suatu agama, dan keyakinan atas perintah agama yang harus
dilaksanakan juga mendapatkan jaminan dalam Pasal 28E Ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya. Bahkan, hak beragama juga diakui sebagai hak yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun berdasarkan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945.
Konsekuensi dari adanya jaminan
tersebut, setiap orang wajib menghormati kebebasan beragama orang lain (Pasal
28J Ayat (1) UUD 1945). Di sisi lain, negara bertanggungjawab untuk melindungi,
memajukan, dan memenuhi kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia (Pasal 28I
Ayat (4) UUD 1945). Negara juga harus menjamin bahwa seseorang tidak
diperlakukan secara diskriminatif atas dasar agama yang diyakini dan ibadat
yang dijalankannya (Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945).
PROBLEM
KEBEBASAN BERAGAMA
Pada tataran normatif, telah jelas
bahwa kebebasan beragam merupakan hak asasi yang bahkan digolongkan sebagai non
derogable right. Namun dalam tataran praktik selalu menimbulkan masalah. Pada
masa lalu, perdebatan ada pada persoalan apakah kebebasan beragama juga
termasuk kebebasan untuk tidak beragama. Namun masalah tersebut terselesaikan
dengan adanya pelarangan PKI serta ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang
salah satu ideologi dasarnya adalah atheisme.
Salah satu masalah yang akhir-akhir
ini muncul adalah kekerasan terhadap aliran minoritas dari suatu agama, yang
dipandang oleh aliran mayoritas sudah menyimpang dari ajaran prinsip agama
tersebut, misalnya kasus Ahmadiyah Qadiyan dan beberapa aliran lainnya.
Munculnya aliran-aliran baru di dalam suatu agama, baik yang berbeda dalam hal
prinsip maupun berbeda hanya dalam hal detil-detil tertentu, telah terjadi
sepanjang perkembangan agama itu sendiri. Oleh karena itu muncul dan
berkembangnya aliran baru tersebut, seperti Ahmadiyah, akan terus ada di masa
yang akan datang.
Kemunculan aliran-aliran baru
dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Perkembangan masyarakat dan problem
manusia membentuk sudut pandang baru dalam memahami suatu agama. Apalagi jika
pemahaman dan cara pandang lama dipandang dan dirasakan tidak dapat memberikan
kepuasan batin, serta dinilai tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah baru
yang dihadapi oleh masyarakat dan manusiannya.
Perkembangan aliran-aliran baru
senantiasa menimbulkan gesekan dan ketegangan dalam masyarakat. Hal itu tidak
terlepas dari perkembangan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di satu
sisi, dan di sisi lain adanya kecenderungan sosial yang resistensi terhadap
perubahan dan hal-hal baru yang belum dikenal dengan baik. Oleh karena itu,
gesekan yang terjadi dalam masyarakat mendahului terjadinya perubahan dan
pergeseran merupakan kewajaran. Gesekan menjadi permasalahan pada saat terjadi
kekerasan yang tidak saja melanggar hak kebebasan beragama, tetapi juga telah
melanggar hak rasa aman dan pada akhirnya merugikan masyarakat luas.
Bangsa Indonesia, khususnya umat
Islam sesungguhnya telah memiliki pengalaman panjang menerima masuknya hal-hal
baru yang kemudian dapat hidup berdampingan walaupun pada awalnya terjadi
gesekan-gesekan. Awal pembentukan dan perkembangan Muhammadiyah misalnya, juga
melahirkan gesekan dengan kelompok muslim tradisional, walaupun perbedaan
keduannya tidak dalam hal yang bersifat prinsipil. Namun bersamaan dengan
berjalannya waktu serta peran para ulama, ketegangan antara keduanya lambat
laun mencair dan dapat hidup berdampingan. Tidak lagi saling menyerang tetapi
sama-sama membangun demi kemaslahatan umat.
Aliran Ahmadiyah sesungguhnya juga telah
masuk ke Indonesia sebelum kemerdekaan. Bahkan Ahmadiyah pernah diterima
sebagai sesama saudara muslim. Namun, karena dalam perkembangannya dipandang
terdapat perbedaan prinsip, terutama karena pengakuan Mirza Ghulam Ahmad
sebagai nabi, umat Islam mayoritas, yang diwakili oleh NU dan Muhammadiyah,
sejak lama telah menyatakan bahwa Ahmadiyah Qadiyan berada di luar Islam.
Pernyataan tersebut tidak disertai dengan kekerasan namun telah terbukti mampu
mencegah perkembangan Ahmadiyah di Indonesia.
AGAMA: ANTARA
WILAYAH PRIBADI, MASYARAKAT, DAN NEGARA
Beragama secara mendasar adalah
wilayah pribadi setiap insan manusia, karena yang paling esensi dalam beragama
adalah keyakinan dan kepercayaan individual. Namun demikian, karena agama tidak
hanya mengajarkan kehidupan pribadi manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur
kehidupan bermasyarakat, agama juga menjadi wilayah masyarakat. Apalagi, jika
agama tersebut telah berkembang luas dan menjadi salah satu identitas yang
menonjol dari suatu masyarakat.
Konsekuensi perkembangan agama
sebagai identitas dan wilayah kemasyarakatan adalah munculnya peran masyarakat
mayoritas yang menentukan keberagamaan seseorang, serta justifikasi sosial
apakah aliran agama tertentu benar atau salah, paling tidak dapat diterima atau
tidak. Peran tersebut bagaimanapun juga telah mengurangi hakikat agama sebagai
hak asasi yang mendasar berdasarkan keyakinan dan kepercayaan individual.
Hal itu tidak dapat dihindari karena
masyarakat membutuhkan kepastian dan pegangan dalam beragama. Bagi masyarakat
awam, adalah tugas para pemimpin agama untuk memberikan kepastian tentang
keberagamaan yang dipandang benar diantara berbagai aliran yang ada. Namun
tentu juga merupakan tugas para pemimpin agama untuk senantiasa memberikan
pemahaman bahwa tidak ada paksaan dalam agama, membangun ukhuwah dalam
keberagaman. Oleh karena itu, adanya kekerasan terhadap kelompok aliran agama
minoritas juga menjadi tanggungjawab para pemuka agama.
Mengingat kebebasan beragama adalah
bagian dari hak asasi, dan negara memiliki tanggungjawab untuk memberikan
perlindungan, penghormatan, dan pemajuan hak asasi, maka dalam hal tertentu
kehidupan beragama juga menjadi wilayah negara. Pada posisi inilah harus
terdapat pembeda yang dapat dijadikan pegangan sehingga peran negara tidak
terlalu jauh memasuki urusan individu, serta tidak pula memasuki ranah
masyarakat. Jika negara telah memasuki urusan individu, maka hakikat beragama
sebagai wujud keyakinan hati nurani dan kepercayaan individual akan hilang. Di
sisi lain, jika negara terlalu jauh memasuki wilayah masyarakat, maka negara
dapat tergelincir menjadi alat mayoritas yang menindas minoritas.
PERAN
NEGARA
Untuk menentukan bagaimana seharusnya
negara berperan dalam kehidupan beragama, harus terdapat prinsip-prinsip yang
dijadikan sebagai pegangan. Pertama, pengakuan hak kebebasan beragama sebagai
hak asasi. Pengakuan tersebut mengharuskan negara tidak dapat melarang agama
apapun atau aliran apapun yang masuk dan berkembang di Indonesia, sepanjang
sesuai dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Persoalan apakah agama atau
aliran tersebut akan diterima oleh masyarakat dan berkembang atau tidak, itu
adalah wilayah masyarakat.
Negara tidak dapat menentukan mana agama yang benar dan
mana agama yang salah. Negara juga tidak dapat menentukan cara beribadah mana yang
benar dan mana yang salah.
Konsekuensinya,
negara tidak dapat melarang cara beribadah tertentu walaupun oleh mayoritas
masyarakat hal itu dipandang menyimpang. Hingga saat inipun tidak ada larangan
hukum terhadap cara ibadat tertentu, walaupun terhadap suatu aliran yang
dinyatakan menyimpang.
Jika negara memasuki wilayah pribadi, maka negara telah
membatasi hak kebebasan beragama dan beribadat. Di sisi lain, keberagamaan dan
ibadah yang dilakukan berdasarkan paksaan akan menghilangkan makna keberagamaan
seseorang karena dilakukan tanpa keyakinan dan kepercayaan, tetapi karena
paksaan semata. Jika berharap terjadi perubahan, maka biarlah perubahan
tersebut juga didasari oleh perubahan keyakinan. Perubahan keyakinan hanya dapat
dilakukan melalui proses dialog dan penyadaran yang menjadi wilayah masyarakat,
bukan oleh paksaan negara.
Oleh karena itu, sikap yang
menyatakan suatu agama atau aliran tersebut menyimpang atau tidak, termasuk
cara beribadahnya adalah wilayah masyarakat. Negara baru dapat masuk wilayah
agama dalam dua kondisi. Pertama, jika agama atau aliran yang dipandang
menyimpang tersebut bertentangan dengan dasar-dasar perikemanusiaan dan
kemasyarakatan. Intervensi negara tersebut sah adanya karena pada prinsipnya setiap
agama mengajarkan penghargaan dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip
kemanusiaan dan kemasyarakatan. Jika suatu agama atau aliran menghalalkan
pembunuhan, pencurian, memutus hubungan kekeluargaan, maka negara harus
bertindak. Tindakan negara tersebut tidak hanya terhadap tindakan-tindakan
berdasarkan ajaran agama yang merupakan tindak pidana, tetapi juga dapat
melarang perkembangan agama tersebut. Pelarangan itu memiliki legitimasi karena
agama atau aliran agama dimaksud nyata-nyata bertentangan dengan hakikat ajaran
agama dan merugikan kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Kondisi kedua di mana dibutuhkan
peran negara adalah pada saat masyarakat, atau sekelompok orang melakukan
tindakan yang melanggar hak kebebasan beragama orang lain, padahal keyakinan dan
kepercayaan orang yang dilanggar itu tidak bertentangan dengan prinsip
kemanusiaan dan kemasyarakatan. Walaupun agama atau aliran agama itu dinyatakan
menyimpang dan atau telah berada di luar suatu agama, sekelompok orang tidak
dapat melanggar hak kebebasan keyakinan dan beribadat para pemeluk agama atau
aliran agama tersebut. JIka hal itu terjadi, negara harus melindungi. Bahkan
jika terjadi kekerasan terhadap para penganut agama atau aliran agama yang
dipandang menyimpang, maka negara harus menindak para pelakunya. Tindakan
tersebut adalah terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan, bukan terhadap
keyakinan bahwa agama atau aliran agama tertentu adalah menyimpang.
Masyarakat atau organisasi keagamaan
seperti NU, Muhammadiyah, atau bahkan MUI memiliki hak untuk menentukan suatu
aliran tertentu masih dapat diakui sebagai Islam atau tidak. Penentuan itupun
tentu dilakukan melalui mekanisme pengkajian dan pengambilan keputusan yang
diatur oleh masing-masing organisasi. Namun dalam kehidupan tertib bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, tentu organisasi-organisasi tersebut dan masyarakat
secara umum tidak dapat melakukan kekerasan terhadap aliran yang dipandang
tidak sesuai lagi dengan pinsip ajaran Islam. Sebaliknya, organisasi-organisasi
itu tentu memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya kekerasan. Oleh karena
itu setiap fatwa harus diikuti dengan “petunjuk” bagaimana menyikapi fatwa
tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban agar tidak terjadi kekerasan dan
paksaan terhadap minoritas. Kekerasan dan paksaan itu tidak saja bertentangan
dengan hukum negara, tetapi juga bertentangan dengan hukum agama.
TUJUAN
Tujuan Negara Indonesia sebagai
negara hukum yang bersifat formal maupun material tersebut mengandung
konsekuensi bahwa negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warganya dengan
suatu undang-undang terutama untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi untuk
kesejahteraan hidup bersama.
Berdasarkan pada tujuan Negara
sebagai terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, Negara Indonesia menjamin
dan melindungi hak-hak asasi manusia pada warganya terutama dalam kaitannya
dengan kesejahteraan hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah, antaralain
berkaitan dengan hak-hak asasi di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan,
pendidikan, dan agama.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setiap
warga negara diberikan HAK untuk bebas memilih agama yang menurut kepercayaan
mereka benar dan sesuai dengan pedoman yang mereka pelajari tanpa adanya paksaan
dan ancaman dari pihak-pihak tertentu. Yang terpenting adalah menjaga
kenyamanan dalam menjalankan ibadah sesuai dengan ajaranNya dan agama
masing-masing yang mereka anut tanpa merasa ketakutan dari luar.
DAFTAR PUSTAKA